Pages

Rabu, 10 Oktober 2012

Menduniakan Tempe

PENAMPILAN Rustono, Sabtu sore itu, tampil modis dengan kemeja hitam berbalut jas berwarna abu-abu dan topi hitam. Ia terlihat segar, padahal dari pagi ia menjadi pembicara dalam dialog Ide Sederhana Berdampak Luar Biasa yang digelar Kementerian Koperasi dan UKM.

Usaha yang dimiliki pria 44 tahun itu ialah tempe. Namun, jangan salah sangka. Usaha tempe yang dimilikinya sudah sukses di Jepang. Karena itu, ia didaulat sebagai pembicara untuk berbagi pengalaman kepada sesama pengusaha tempe di Indonesia.

Rustono tampak bersemangat menceritakan perjalanan hidupnya hingga menjadi pengusaha tempe sukses di Jepang. Awal mula perjalanan kesuksesannya dimulai dari pertemuan dengan sang istri, Tsuruko Kuzumoto, 44. Saat itu, Rustono masih berusia 28 tahun dan bekerja sebagai petugas front office di sebuah hotel di Yogyakarta. Ia pun bertemu dengan tamu dari Jepang, yang tidak lain ialah Kuzumoto.

Alumnus Universitas Sahid jurusan perhotelan itu jatuh cinta kepada Kuzumoto. Cintanya ternyata tidak bertepuk sebelah tangan. Perempuan 'Negeri Sakura' itu juga memiliki perasaan yang sama. Setelah memutuskan mengajak Kuzumoto menikah, ia pun hijrah ke Jepang pada 1997.

Perjuangan Rustono di negeri asal para samurRai itu pun dimulai. Awalnya ia bekerja sebagai buruh di pabrik roti dan sayuran. Ia kemudian mendapatkan pekerjaan tetap di pabrik makanan. Pengalaman kerjanya itu memberikan pelajaran bagi Rustono. Ia mempelajari etos kerja masyarakat, mutu, dan kualitas barang, serta sistem kerja.

Rustono ternyata memiliki hasrat terselubung, yakni membuat usaha baru di Jepang. Keputusannya jatuh pada usaha makanan karena masyarakat Jepang dikenal menyukai beragam kuliner unik. Namun, Rustono masih bingung kuliner apa yang akan dipilih.
Hingga suatu saat, ia rindu akan gorengan tempe ketika masih di kampung halamannya di Grobogan, Purwodadi, Jawa Tengah. Kerinduan itu akhirnya menginspirasi dia untuk memulai usaha tempe.

Selama bekerja di pabrik, ia belajar membuat tempe di rumah. Beberapa kali ia menelepon kerabatnya yang kebetulan membuat tempe untuk mengajarinya. Saat liburan tiba, ia pun memanfaatkan waktu pulang ke Indonesia selama tiga bulan dan belajar membuat tempe dari beberapa pengusaha tempe. Itu kemudian ia praktikkan di kediamannya di Otsu-shi, Shiga, sekembalinya ke Jepang.

Bukan hal yang mudah membuat tempe di Jepang. Meski bahan utama seperti kedelai mudah didapat di Jepang, kondisi iklimnya di musim dingin yang mencapai minus 10 derajat celsius bisa membuat tempe gagal. Selama empat bulan Rustono terus beruji coba. Hingga akhirnya, ia mampu membuat tempe sesuai dengan harapan. Ia pun mengurus segala perizinan usahanya. Setelah tiga tahun bekerja di pabrik makanan, ia memutuskan untuk keluar dan fokus memproduksi tempe.

King of Tempe

Untuk memasarkan tempenya, Rustono membuat merek sendiri, Rusto's Tempeh. Penggunaan huruf H di belakang kata tempe agar terdengar lebih tegas. Awal mula, Rustono memproduksi 40 bungkus tempe yang dipasarkan dengan sistem dari pintu ke pintu. Semua itu dilakukannya tanpa lelah. Tak jarang ia menerima penolakan keras. Namun, ia pantang menyerah.

Ia pun memasarkannya ke warga negara Indonesia yang berada di Jepang. Jika ada yang letaknya berjauhan, ia pun mengirimkan lewat paket. Tak jarang, ada yang membelinya karena rasa kasihan kepada Rustono.

"Awal mula, ingin menjual tempe di Jepang dan kemudian saya ingin menjual ke seluruh Jepang. Saya ingin orang Jepang mengenal tempe Indonesia," ungkap Rustono.

Pelan tapi pasti, Rustono pun memiliki pelanggan setia. Sedikit demi sedikit penjualan Rusto's Tempeh semakin menyebar. Ia pun membeli peta keseluruhan Jepang. Setiap menerima pesanan dari pelanggan di suatu kota, akan ia tempelkan stiker merah. Itu menunjukkan penyebaran penjualan tempenya. Kini stiker merah itu tertempel di seluruh peta Jepang.

Tidak hanya untuk dikonsumsi keluarga, ia juga menawarkan produk tempenya ke beberapa restoran, rumah sakit, katering, hingga supermarket, mulai Hokkaido, Okinawa, Kyoto, hingga kota besar Tokyo. Berkat kegigihannya menyebarkan tempe ke seluruh Jepang, ia pun dijuluki pelanggan dan kerabat dekatnya di Jepang dengan sebutan the King of Tempe from Japan.

Hasil penjualan tempe ia tabung untuk pembangunan pabrik. Pasalnya, ia selalu membuat tempe di apartemen tempat tinggalnya. Pada 2005, Rustono akhirnya mendapatkan izin dan mulai membangun pabrik tempe. Dengan mengambil lahan seluas 200 meter persegi tak jauh dari kediamannya di Otsu-shi, ia pelan-pelan membangun pabrik yang diimpikan.

Hal tak terduga pun terjadi saat Rustono sedang mengawasi pembangunan pabriknya. Seorang jurnalis sebuah surat kabar di Jepang tak sengaja memperhatikan Rustono dan pabriknya. Karena tertarik dengan perjalanan Rustono dengan tempe, sang jurnalis pun mewawancarai dan Rustono pun masuk surat kabar itu. Dari situlah nama Rustono dan produknya mulai dikenal luas di Jepang.

"Bahkan restoran yang dulu menolak keras, saat saya datang menawarkan, malah telepon balik meminta pesanan tempe untuk restorannya," ujar Rustono.

Saat awal-awal, Rustono mengaku dibantu sembilan karyawan. Kini ia hanya dibantu istrinya. Hal itu karena pada saat awal, ia membutuhkan banyak bantuan. Dengan hanya berdua bersama istri, ia dapat hidup sederhana demi pencapaian modal bisnis yang lebih besar lagi. "Jika kita tekun, hal-hal luar biasa akan datang," ujarnya.

Go international

Rustono menjual tempe seharga 350 yen per bungkus atau sekitar Rp35 ribu-Rp45 ribu untuk ukuran 250 gram. Kini, rata-rata Rustono bisa melayani 16 ribu hingga 20 ribu bungkus per bulan. Penjualannya sudah menjangkau 490 titik provinsi di Jepang dan 60%-nya adalah restoran.

Selain penduduk Indonesia di Jepang, masyarakat Jepang kini telah mengenal tempe berkat Rustono. Ia pun beralih ke cita-cita yang lebih besar, yakni menduniakan tempe.

Bukan mimpi, Rustono bahkan sudah membangun pabrik cabang di Namyang Chu, Korea Selatan. Saat ini pun ia sedang mencoba memperkenalkan tempe ke masyarakat Korea. Tak hanya itu, Rustono juga turut menularkan ilmunya ke kawannya, Luisa Velez, seorang pengusaha tempe berkewarganegaraan Meksiko, yang kini memperluas produksi tempe di Meksiko.

Di balik kesuksesannya, Rustono berharap perajin tempe di Indonesia bisa berkembang dan maju, tidak pantang menyerah. Menurut dia, tempe yang menjadi warisan kuliner Indonesia memiliki potensi besar untuk dikembangkan.

"Banyak yang anggap tempe makanan murahan. Tempe itu harus naik kelas dan mahal pun tidak apa. Coba bayangkan siapa yang tahan tidak makan tempe seminggu. Hanya, tempe di Indonesia harus lebih higienis dengan mutu bahan baku yang berkualitas." (M-5)

siska@mediaindonesia.com

0 Responses to “Menduniakan Tempe”

Posting Komentar

Blogger news

All Rights Reserved Made Sumitre | Blogger Template by Bloggermint