Pages

Jumat, 27 Januari 2012

ASPEK FILOSOFIS TAHUN SAKA

Dalam menyambut tahun baru Saka 1932, Universitas Hindu Indonesia pada tanggal 10 April 2010 menyelenggarakan Seminar Pendalaman Sistem Kalender Saka Bali. Dua orang narasumber ditampilkan dalam seminar tersebut, masing-masing IBG Agastia dan I Gede Marayana. Ringkasan makalah yang disajikan dimuat dalam Warta Hindu Dharma Nomer ini. Penyunting.


Wedangga terdiri atas: siksa, kalpa, wyakarana, nirukta, chanda dan jyotisha. Jyotisha atau Astronomi (termasuk astrologi) sebagai bagian dari wedangga telah ditulis antara tahun 3000- 1700 Sebelum Masehi. Sebagian dan karya itu telah hancur, tetapi sebagian lagi dapat diselamatkan dalam berbagai perpustĂ kaan. Pitamaha dan Wasistha, dua penulis yang sangat terkenal dengan karya-karya Astrologinya. Pitamaha-Siddhanta, yang ditulis sekitar 3000 tahun Sebelum Masehi adalah buah karya patamahan. Sementara Wasistha melahirkan Wasistha Sidhanta, disamping Pancha Siddhanta Kosa, Surya Siddhanta, Nihjananda, dli. (Sumber: Shil—Ponde, Hindu Astrology Jyotisha Sastra; 1988).


Dari buku-buku tersebut kita mendapatkan uraian bahwa zaman ini adalah zaman Kaliyuga yang telah berumur 5049 tahun. Rentang waktu Kaliyuga adalah 432.000 tahun. Sementara rentang waktu yang telah mendahului adalah Satyayuga (1.728.000 tahun), Tretayuga (1.296.000 tahun) dan Dwaparayuga (864.000 tahun). Tradisi memakai tahun Kaliyuga ini masih berlangsung sampai saat ini, disamping pemakaian Tahun Saka.


Surya Candra Pramana
Tahun Saka dicanangkan oleh Raja Kanishka pada 22 Maret tahun 79, atau tanggal 1 bulan 1 tahun 1 Saka. Sehari sebelumnya yaitu 21 Maret 79 terjadi gerhana Matahari total. Sebagaimana diketahui pada saat terjadinya gerhana, baik gerhana Matahari (suryagraha), maupun gerhana Bulan (candragraha) Matahari, Bulan dan Bumi berada dalam satu garis lurus. Oleh karena itu gerhana Matahari jatuh pada tilem dan gerhana Bulan jatuh pada purnama.


Tanggal 21 Maret pada tahun biasa, 22 Maret pada tahun Kabisat (bilangan tahun habis dibagi empat), Matahari tepat berada di atas garis khatulistiwa, garis tengah Bumi. Atau pada saat ini sumbu Bumi membuat sudut 900 terhadap poros Bumi-Matahari, sehingga Kutub Utara dan Kutub Selatan terletak sama jauh terhadap Matahari. Akibatnya adalah lamanya waktu siang sama dengan lamanya waktu malam, yaitu 12 jam.


Karena pada tang’gal 21 Maret 79 terjadi gerhana Matahari, maka dapat dipastikan pada saat itu adalah tilem (bulan mati. Jadi perhitungan penetapan tahun Saka tidak hanya melihat posisi Matahari (surya pramana), tetapi juga posisi Bulan (candra prarnana), oleh karena itu disebut surya-candra pramana.


Perhitungan penetapan tahun Saka yang pada awalnya memperhatikan posisi Matahari, Bulan dan Bintang-Bintang di langit tetap diteruskan di Bali. Oleh karena itu tanggal 1 bulan 1 Saka senantiasa jatuh pada tanggal 1 (panaga1 ping pisan) bulan Waisaka, sehari setelah tilem Caitra. Akibatnya tanggal 1 bulan 1 Saka tidak senantiasa tepat jatuh pada tanggal 22 Maret (karena masih memperhitungkan posisi bulan lurus dengan Bumi dan Matahari).


Apabila kita memperhatikan secara lebih mendalam sistem kalender Saka yang berlaku di Bali khususnya dan Indonesia umumnya dapat kita ketahui telah terjadi penggabungan tiga system kalender yaitu system tahun Surya, tahun Candra dan tahun Wuku. System tahun Surya berpedoman pada jangka waktu peredaran Bumi mengitari Matahari, yang disebut satu tahun, dan disebut satu tahun Surya. Umurnya adalah 365,22 hari, tepatnya 365 hari, 5 jam, 48 menit, 46 detik. Sistem tahun Candra berpedoman pada jangka waktu peredaran Bulan mengelilingi Bumi yang disebut satu bulan. Umur bularinya adalah 29,5 hari tepatnya 29 hari, 12 jam, 44 menit dan 3 detik. Sehingga umur satu tahunnya adalah 12 kali bulannya, yaitu 354 hari, 8 jam, 48 menit, 36 detik, disebut satu tahun Candra. Yang ketiga adalah tahun Wuku, penentuan wuku-wuku Pengunalatrian ditata dalam rumusan tahun Wuku (sumber: R. Goris, “Holidays and Holy Days”, dalam Bali: Studies in Life Thought, and Ritual, 1960).


Itulah sebabnya dalam rangka pembahasan tentang Karya Agung Panca Bali Krama, dibahas pula sistem Pangalantaka yang tepat berlaku setelah upacara tersebut. Sebenarnya pembahasan Pangalantaka seharusnya dilakukan menjelang Karya Agung Ekadasa Rudra, untuk menentukan ketepatan pumama-tilem seratus tahun kemudian. Dalam pembahasan tentang Pangalantaka di Pura Agung Besakih pada tanggal 25 Juli 1998, oleh para sulinggih telah dittapkan Pangalantaka Eka Sungsang Ke Paing (Seloka) untuk dipakai sejak pasalin fah Saka 1921 (setelah Panca Bali Krama) sampai pelaksanaan Karya Agung Baligya Marebhu Bumi pada tilem Caitra tahun Saka 2000 (tahun 2079 Masehi).


Dewa Asuram
Pada saat Surya tegak di atas khatulistiwa disebut Wiswayana (apabila Surya berada di sebelah Selatan disebut Daksinayana, bila di Utara khatulistiwa disebut Uttarayana) adalah saat yang tepat untuk melaksanakan upacara penyucian Bhuwana. Itulah sebabnya rangkaian upacara bhuta yadnya terbesar dilaksanakan pada tilem Caitra, atau pada saat Wiswayana seperti Panca Bali Krama (setiap 10 tahun sekali ketika tahun Saka berakhir dengan 0), Ekadasa Rudra (setiap 100 tahun sekali ketika tahun Saka berakhir dengan 00), dan Baligya Marebhu Bumi (setiap 1000 tahun sekali ketika tahun Saka berakhir dengan 000). Setelah melaksanakan bhuta yadnya tersebut, 15 hari kemudian yaitu pada Pumama Waisaka, dilaksanakan upacara Dewa Yadnya yang disebut Ngusaba Kedasa atau Batara Turun Kabeh.


Pelaksanaan upacara memilih waktu yang tepat seperti ini mengingatkan kita pada konsep bhuta asuram. Dalam tulisannya tentang “Dewa and Bhuta”, Vasudeva S. Agraval menyatakan “ Deva is the divine principle and Bhuta is matter. Siva is called Bhutapati, the Lord of Matter or the five gross material elements. Deva is light and Bhuta is darkness. These two opposite principles are locked in eternal conflict which in Sanskrit is known as Daivasuram. The Devas represent truth, immortality and light; the Asuras represent untruth, death and darkness... In the body of Siva the devas and the asuras become reconciled and their coexistence is repressed as the rhythmic dance of the Great God. In the scheme of the creator darkness also have place as inevitable as light. This is the basic duality of the cosmos”.


Lima unsur bhuta sebagai perwujudan dan acetana (pradhana) mendapat perhatian penting dan pemikiran Hindu. Alam semesta (bhuzvanaagung) dan manusia sendiri (bhuwana alit) dibentuk oleh lima unsur yang disebut panca maha bhuta terdiri atas pratiwi (unsur tanah), apah (unsur air), teja (unsur api), bayu (unsur angin), dan akasa (ether). Panca Maha Bhuta dibentuk oleh unsur yang sangat halus yaitu Panca Tan Matra, terdiri atas gandha (unsur bau), rasa (rasa), sparsa (sinar), rupa (rupa), dan sabda (suara). Semua unsur tersebut berstruktur, bersistem dan harmoni. Namun dalam pengalaman waktu, termasuk karena tindakan manusia, unsur-unsur tersebut boleh jadi menjadi disharmoni. Oleh karena itu setiap kurun waktu tertentu diadakan upacara yang menjadi proses penyadaran tentang sistem pengetahuan itu (sumber: Surendranath Dasgupta, “Genesis of the Tarimatras”, dalam Natural Science of the Ancient Hindus, 1987).


Bhutayajna diadakan pada tempat terpilih yang secara simbolis dijadikan tengahnya Bumi (madhyanikang bhuwana, catus pata), di mana pratiwi (bhumi; tanah) dan akasa (langit) bertemu. Pemilihan tempat itu berhubungan dengan perwujudan konsep padma bhuwana dan padmasana.


Kekuatan Siwa dibayangkan pertama-tama memancar ke empat penjuru, selanjutnya ke delapan penjuru, akhirnya ke seluruh penjuru. Dalam Wrehaspati Tattwa disuratkan sebagai berikut:
Savyaparah Sivah Suryah caittatattvah;
sapadah saguno vyapi arupatvat pracaryate;
utpadako na sadhakah tat tasyanu-grahaparah;
virocanakaro nityah sarvajna sarva-krdvibhuh;


“sawyaparah Bhatara sadasiwa, hana padmasana pinaka pangguhhannira, aparan ikang padmasana ngaranya, sakti nira, sakti ngaranya wibhusakti, prabhusakti, jnanasakti, kriyasakti, nahan yang cadusakti.”


Tuhan yang mahakuasa disebut sebagai Sadasiwa menyerap, membentang ke empat penjuru alam semesta, adalah Padma-sana sebagai singgasana Beliau: apa yang disebut Padmasana (singgasana teratai) tersebut: Saktinya (Kemaha-kuasaannya) yang terdjri atas Wibhu-Sakti (Maha-Ada), Prabhu-Sakti (Maha-kuasa), Jnana-Sakti (Maha-Tahu) dan Kriya-Sakti (Maha-Pencipa). Demikian yang disebut Cadu-sakti atau Catur-Sakti, Empat Kemahakuasaan Hyang Siwa”.


Cadu Sakti tersebut membentang ke empat penjuru alam semesta. Secara antro-phormorfis keempat Kemahakuasaan yang maha gaib itu diwujudka sebagai empat Dewa yang menjadi Penguasa empat penjuru alam semesta. Adapun Hyang Siwa sendiri berada di tengah, sebagai Penguasa Pusat alam semesta. Dalam kitab Wrehaspati-tattwa disuratkan juga: ... ri madhya nika ngkana ta palungguhan ri kala niran masarira, mantratma ta sira, mantra pinaka sarira nira, Isana murdha ya, Tatpurusa waktra ya,.Agora hrdaya ya, Bamadewa guhya ya, Sadyojata murti ya, Aum, nahan pinaka sarira Bhatara, bhawaspatikawarna”. (Di tengah-tengah bunga padma bersthana Hyang sadasiwa, ketika Beliau men gambil suatu wujud. Beliau adalah mantra-atma, mantra sebagai wujudNya. Isana sebagai kepala, Tatpurusa sebagai muka, Aghora sebagai ati, Bamadewa sebagai badan halus, Sadyojata sebagai wujudNya, Aum. ini merupakan wujud Tuhan Yang Maha Kuasa, Hyang Sadasiwa, bening seperti kristal).


Sadyojata, Bamadewa, Tatpurusa, Aghora, dan Isana biasa disebut Panca Brahma atau Panca Dewata, masingmasing dengan bija-aksaraNya (aksara suci): SANG, BANG, TANG, ANG, ING. Dalam konsep padma-bhuwana atau padma-mandala masing-masing sebagai Penguasa empat penjuru mata angin dan pusat:
1. Penguasa penjuru Timur alam semesta (Purwa) adalah Sadyojata dengan gelar lain Iswara.
2. Penguasa penjuru Selatan (Daksina) adalah Bama-dewa dengan gelar lain Brahma.
3. Penguasa penjuru Barat (Pascima) adalah Tat-purusa dengan gelar lain Mahadewa.
4. Penguasa penjuru Utara (Uttara) adalah Aghora dengan gelar lain Wisnu.
5. Penguasa di pusat (Madhya) adalah Siwa sendiri disebut juga Isana, Penguasa Yang Maha Agung.


Apa yang disebut Catur-mukha-lingga dapat dipahami dalam konteks ini, yaitu lingga dengan empat muka sebagaimana ditemui dalam sejumlah patung pada awal abad Masehi di India, atau banten catur mukha yang sampai saat ini sangat penting dalam upakara di Bali. Dalam bukunya Iconography of Sadasiva (1976) Bijendranath Sarma menyatakan bahwa arca caturmukhalingga yang tersimpan di Gurukul Kangri Museum, Haridwar adalah sebuah contoh dan pengejawantahan pemujaan kepada Siwa (Sadasiwa) dengan empat kekuatannya:  “……….. five asopects Of Siva viz. Sadyojata, Bamadewa, Aghora, Tatpurusa, and Isana are symbolically represented by five linggas carved in relief on the upper part of the stele of the images” (p.32).


Sementara itu dalam uraiannya tentang Pancabrahma (Bab. IX) dalam bukunya Siva Mahadeva (1984), Vasudeva S. Agravala menyatakan bahwa Pancabrahma adalah Penguasa dan Panca Maha-buta dan PancaTanmatra. Sadyojata Penguasa Pretiwi (tanah) dan gandha (bau), Bamadewa Penguasa apah (air) dan nasa (rasa), Aghora Penguasa teja (api) dan sparsa (cahaya, wama), Tatpurusa Penguasa bayu (angina), dan rupa (rupa), Isana adalah Penguasa Akasa (ether) dan sabda (suara).


Dengan demikian Panca-brahma juga menjadi Pengendali Pancajnanendniya atau Pancabhuddidriya. Sebagai-mana halnya Akasa, Isana juga Pengendali srotendriya (indria pendengar), Tatpurusa Pengen-dali Twakindriya (indria sen-tuhan), Aghora Pengendali cakswindriya (indria pengli-hatan), Bamadewa Pengendali jihwendriya (indria rasa lidah), Sadyojata adalah Pengendali ghranendriya (indria penciuman). Sebagaimana diketahui Panca Tanmantra adalah unsur dasar yang membangun panca mahabhuta. (sumber: Vasudeva S. Agravala, Siva Mahadeva, the Great God, 1984; Sudarshana Devi, Wrhaspati-tattva, an old Javanese Philosophical Text, 1957).


Siwa Aditya dan Prajapati
Apabila diperhatikan lebih lanjut penerapan konsep asta murti Siwa tampak dalam pelaksanaan Bhuta Yajna menyambut Tahun Baru Saka. Asta Murti Siwa terdiri atas delapan bagian, yang dijadikan tiga kelompok yaitu : 1) Pratiwi, 2) Apah, 3) Teja, 4) Wayu, 5) Akasa (Bhuta Matra), 6) Candra, 7) Surya (Prana Matra) dan 8) Pasupati (Pradnya Matra). Kedelapannya tersusun dan bawah ke atas dengan menempatkan Pasupati sebagai yang tertirtggi dan menyusup ke dalam keseluruhan bagian tersebut.


Secara Iebih sederhana konsep Asta Murti Siwa ini diwujudkan dengan istilah Siwa Aditya. Pada saat Tilem Caitra baik Siwa (Wiswa) maupun Aditya berada dalam posisi tengah bumi, dan alam semesta dalam posisi sedemikian rupa. Memahami konsep ini seorang peneliti agama Hindu yang terkenal T. Goudrian dalam tulisannya Sanskrit Texts and Indian Religion in Bali menyatakan bahwa di Bali adalah sangat penting bagaimana Sjwa dan Surya tidak saja diidentikkan, namun juga dipuja sebagai wujud kesatuan dualitas, dengan istilah Siwa Surya atau Siwa Aditya. Jadi pemujaan pada Siwa Aditya menemukan momentumnya pada saat matahari berada di posisi Wiswayana.


Konsep lain yang sangat perlu mendapat pemahaman dalam kaitan dengan penetapan tahun Saka adalah konsep Prajapati. Dalam bukunya Prajapati and The Year (1984) J. Gonda menguraikari tentang konsep Prajapati sebagai waktu atau tahun sebagaimana ditemukan dalam kitab suci Wedaweda. Ia menjelaskan bahwa pada awalnya ciptaan-ciptaan ini lahir, dalam rentang waktu tahun mereka bertumbuh sejak lahir sampai saatnya mereka musnah. Oleh karenanya tahun tersebut adalah Prajapati sebagai waktu. Di sinilah tahun tersebut menjadi waktu yang fenomenal (kalah), yang tidak hanya mendasari sumber dari segalanya, melainkan juga sebagai asal dan inti dasar dari semua keberadaan dan kebinasaan. Melanjutkan argumentasinya yang mengidentifikasikan tahun Prajapati tersebut, adanya istilah kediaman Brahman (Brahmanidam). Kediaman atau tempat peristirahatan Brahman mungkin digunakan untuk menegaskan tempat dimana Brahman berkembang atau menyebar luas secara penuh, sebagaimana burung-burung berupaya tumbuh sempurna pada sarangnya.


Jadi tahun atau waktu itu tiada lain adalah Prajapati. Hal ini sangat identik dengan konsep Prajapati sebagai dewa kematian dalam tradisi Bali. Di samping berhubungan dengan Surya, di Bali Tahun Saka berhubungan pula dengan konsep Sunya. Setelah melaksanakan Bhuta Yadnya pada Tilem Caitra umat Hindu memasuki alam sepi atau Sunya. Dalam Jnana Sidanta ditegaskan bahwa Sunya adalah alam dan Paramasiwa: “Murdhni caiva sthito devah sunyatma Paramasivah) Nirvyparah Parambrahma nada - murti - nirakrtih II (Kalinanya: San Hyan Paramasiva sira sunyatma, rin murdha sthananira, nir-vyapara sira, San Hyang Parambrahma naranira, nirak-sara laksananira, nada murtinira, vijaksaranira”. Artinya : Sang Hyang Paramasiwa adalah sunyatma, kepala adalah sthananya, ia tidak aktif, Ia juga disebut Sanghyang Parambrahma, ciri khasnya adalah tidak terungkapkan dalam suku kata, ia terwujudkan dalam nada, dan adalah wijak-saranya. Di sini dijelaskan bahwa Sunya adalah alam dan Paramasiwa yang dalam keadaan “tidak aktif”. Alam inilah yang ingin dicapai oleh para Yogi di dalam aktifitas yoganya. Maka dalam kaitannya dengan peringatan Tahun Saka dilaksanakan Brata Penyepian yang sesungguhnya merupakan pelaksanaan yoga dan pemujaan kepada Paramasiwa. Om, Tamaso ma jyotir gamaya. Om, Nama Siwaya.[WHD No. 520 April 2010].


http://www.parisada.org

0 Responses to “ASPEK FILOSOFIS TAHUN SAKA”

Posting Komentar

Blogger news

All Rights Reserved Made Sumitre | Blogger Template by Bloggermint