Jumat, 27 Januari 2012
Sebagian Besar Tidak Paham Mantra Persembahyangan
Do you like this story?
Tidaklah mengada-ada jika saya memberi judul tulisan ini seperti itu, sebagai perbandingan di tempat saya (Sulawesi Tenggara) tak satupun yang benar-benar paham mantra. Para pemangku/pinandita hanya sekedar menghapal saja mantra-mantra yang diujarkan dalam ritual-ritual tanpa mengerti intonasi/nada serta artinya. Kalau pemangkunya saja tak paham, lalu bagaimana dengan yang lainnya? Saya memisahkan pemahaman mantra ini dan sudut bhakti, sebab kalau masalah bhakti para pemangku ini tak diragukan lagi.
Ada tujuh syarat yang harus dipenuhi agar suatu yadnya dapat dikategorikan “satwika yadnya” yaitu: sradha, lascarya, sastra, daksina, mantra, gita, annasewa dan nasmita. Dari tujuh syarat itu, mantralah yang merupakan unsur terpenting. Mengapa demikian? Tidak lain karena mantra diyakini memiliki kekuatan suci. Tentu jika diucapkan dengan aturan yang tepat.
Dalam setiap persembahyangan, pengucapan mantra yang benar menupakan persyaratan penting disamping wirama dan juga artinya. Kalau ketiganya itu ada yang salah, maka tujuannya takkan tercapai atau mungkin terbalik sama sekali. Apa sih sebenarnya mantra itu? Berikut ada beberapa definisi yang saya kutip dari buku Gayatri, Semadhi Mahatinggi terjemahan Agus S. Mantik:
Mantra adalah satu kata atau kumpulan kata yang memiliki kekuatan dan yang didengar oleh para Rsi. Mantra adalah kata yang membawa seseorang yang dengan tulus mengucapkannya, menyebrangi lautan kelahiran kembali. Mantra adalah rumus akultis untuk mengusir dan berbagai gangguan atau jalan untuk memenuhi keinginan duniawi, tergantung dan motif untuk apa man tm diucapkan. Mantra adalah jampi yang kalau diucapkan dengan tekanan yang benar akan memberikan hasil melalui kekuatan alam, Dewata atau Bidadari yang dipuja. Mantra adalah kekuatan kata yang bisa dipakai untuk realisasi rohani atau keinginan keduniawian; dia bisa dipakai untuk kesejahteraan dan juga bisa dipakai untuk kehancuran. Dia memiliki keluatan seperti tenaga atom. Dia adalah satu kekuatan yang bertindak sesuai dengan kasih sayang seseorang yang mempergunakannya.
Dan banyak definisi itu, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa mantra bisa “bertuah” jika diucapkan sesuai aturan dan sangat mungkin akan menimbulkan bencana jika diucapkan tidak sesuai aturannya. Nah jika demikian mantra itu, mengapa kita masih mencoba pamer di arena yadnya? Tidaklah kita sadari bahwa kesalahan ucap akan membawa hasil yang terbalik? Lebih-lebih jika kita mengucapkan rapalan-rapalan itu dengan motif “agar dibilang hebat” tentulah akan sangat berbahaya.
Sebuah contoh adalah ketika adik kandung Rahwana yang bernama Kumbakarna memohon anugrah kepada Dewa Brahma agar dikaruniai kesenangan selalu (suka sada) tetapi karena lidahnya salah ucap menjadi supta sada) maka Dewa Brahma menganugrahinya sebagai mahluk yang selalu tidur karena “supta sada” artinya selalu tidur. Ini adalah contoh kecil saja. Tetapi bukankah mantra-mantra yang diucapkan di setiap acara persembahyangan adalah juga penuh permohonan? Tidaklah ada kekhawatiran akan terjadi kesalahan seperti Kumbakarna tadi?
Memang tidaklah mudah untuk membuat (minimal para pemangku) untuk memahami mantra mengingat kebanyakan mereka terhalang oleh intelektual, (masih banyak yang tidak
tamat SD). Tapi semua itu harus kita akui dengan jujur tanpa membanding-bandingkan dengan umat lain. Kita memang tertinggal tetapi tidak harus diam karenanya. Mudah-mudahan Parisada Pusat mempunyai program untuk masalah ini. Mungkin yang paling bijaksana adalah menanamkan pengetahuan pada generasi muda Hindu lewat kurikulum pendidikan agama Hindu di sekolah. Untuk dapat mengajarkan mantra kepada anak didik, tentulah yang pertama paham adalah gurunya. Tetapi sekali lagi ini adalah bukan hal yang mudah.
source:Parisada.org
0 Responses to “Sebagian Besar Tidak Paham Mantra Persembahyangan”
Posting Komentar