Pages

Jumat, 27 Januari 2012

Kulkul dan Masyarakat Bali

Banjar, subak dan sekaa sebagai komunitas kecil mempunyai peranan yang penting dalam membentuk kepribadian masyarakatnya, sering dijadikan pusat orientasi kegiatan seperti pengadaan dan pengarahan tenaga keija dalam kegiatan ekonomi, sebagai pusat sosialisasi dan enkulturasi dalam pembentukan identitas di luar rumah.


Proses pengadaan dan pengarahan tenaga (anggota) perlu.adanya sarana unt-uk pemanggilan mengintegrasikan anggota. Di dalam menghadapi suatu pekeijaan maupun kegiatan lain baik yang besar maupun yang kecil terutama yang menyangkut kepentingan umum, maka suatu isyarat (pertanda) kapan mulainya dan kapan berakhirnya adalah mutlak diperlukan. Sarana yang paling efektif dan zarnan dahulu sampai sekarang untuk memanggil ataupun mengumumkan sesuatu di Bali yaitu dengan alat kulkul (kentongan).


Alat ini terbuat darikayu, yang mempunyai maksud agar pemikiran (dalam bahasa Bali disebut kayun para anggota benar-benar menyatu dalam alat komunikasi tradisional tersebut. Maka tidak mengherankan kalau setiap Bale Banjar, Pura dan kompleks bangunan tertentu seperti hotel, restaurant. Di Bali terdapat Bale Kulkul : tempat menggantungkan kentongan sebagai sarana integrasi dan mengumumkan sesuatu peristiwa yang sedang dan akan terjadi lewat kode/simbol suara kentongan.


Kalau kentongan diamati sepintas, seolah-olah tidak ada artinya. Ia merupakan kayu yang dilubangi hampir sama dengan panjang dan besarnya kentongan. Apabila terdapat dua atau lebih kentongan yang digantung di Bale Kulkul, bagi orang diluar Bali menganggapnya sama. Demikian juga sebaliknya apabila di Bale Kulkul hanya terdapat sebuah kentongan, sedangkan dalam komunitas itu terdapat berbagai organisasi yang juga memanfaatkan kentongan itu sebagai sarana komunikasi. Kunci untuk membedakan semuanya ini adalah kode suara dan penambahannya.


Pada umumnya jumlah kentongan yang digantung pada Bale kulkul yang ada di Bali adalah dua buah. ini maksudnya untuk mencerminkan dan jenis kelamin anggota organisasi tersebut yaitu terdiri dan lelaki dan perempuan. Apabila kegiatan ini hanya melibatkan anggota perempuan, maka yang akan dibunyikan adalah kentongan yang beridentitas perempuan. Demikian pula sebaliknya apabila kegiatan hanya melibatkan anggota laki-laki, maka kentongan yang dibunyikan adalah kentongan yang beridentitas laki-laki. Tetapi kalau kegiatan melibatkan laki perempuan, maka kedua kentongan yang harus dibunyikan. Untuk membedakan antara kedua jenis kentongan menurut identitasnya dapat dilihat bahwa dari ukuran besar kecil, suara penabuhnya.


Peristiwa yang lain seperti seorang anggota keluarga baru lahir (utpeti). Apabila yang lahir adalah lelaki, maka yang dibunyikan adalah kentongan yang beridentitas laki-laki, sebaliknya seandainya yang lahir perempuan, maka yang dibunyikan adalah kentongan beridentitas perempuan. Dalam peristiwa perkawinan, tergantung jenis kelamin yang pergi (keluar) maupun yang datang ke kelompok yang baru. Seandainya anggota kelompok mendatangkan mempelai perempuan dan kelompok luar, maka yang dibunyikan pertama adalah kentongan yang berstatus lelaki yang selanjutnya suaranya dipadukan silih berganti dengan suara kentongan yang perempuan. Di kelompok perempuan akan dibunyikan kentongan yang berstatus perempuan, yang selanjutnya diadukan secara silih berganti dengan kentongan yang berstatus laki-laki. Ini menandakan sebagai simbol penghormatan bahwa ada anggotanya yang pergi nikah. Kalau terjadi perkawinan endogami kelompok (banjar), maka yang akan dibunyikan pertama adalah kentongan yang berstatus lelaki kemudian dijalani dengan kentongan yang berstatus perempuan.


Berbeda dengan peristiwa alam seperti kebanjirari, kebakaran, gerhana, tidak dibuat aturan yang ketat untuk memulai membunyikannya. Demikian pula dalam peristiwa kecelakaan seperti kecurian, pembunuhan, atau hewan hilang tidak ada aturan kentongan yang mana harus dibunyikan pertama kali, diperhatikan adalah kode/simbol suaranya umumnya dengan bunyi dengan istilah kulkul bulus, namun demikian harapananggota diusahakan membunyikan kentongan yang bisa menimbulkan suara yang lebih menjangkau ke tempat yang jauh.


Berbeda dengan kentongan yang digantungkan di setiap pura di Bali, aturan-aturan/cara dan penggunaannya tidak seketat pada kentongan yang dipajang di depan Bale Banjar, Bale Desa, kentongan yang digantung di sekitar pura biasanya dibunyikan pada saat ada upacara yang berlangsung di pura tersebut. Misalnya pada upacara odalan yang diselenggarakan setiap enam bulan sekali atau setiap satu tahun sekali. Makna simbol bunyi yang diungkap dalam peristiwa odalan adalah untuk memeriahkan suasana atau dengan kata lam tidak jauh berbeda dengan fungsinya sebagai alat musik penyambutan.


Identifikasi Kulkul (Kentongan)
Suatu kenyataan dapat dilihat bersama, bahwa di kalangan masyarakat Bali lebih-lebih umat Hindu di Bali pada umumnya kentongan tidaklah begitu asing, karena setiap organisasi kemasyarakatan yang bersifat sosial memiliki “kentongan” atau di Bali lebth dikenal dengan kulkul, baik itu kentongan besar maupun kecil tergantung dan masyarakat pendukungnya.


Ditinjau dan segi bahasanya kentongan (kulkul) dapat dibuat dari berbagai macam kayu, adapun kayu yang dapat dipergunakan sebagai kentongan adalah : kayu ketewel (nangka), kayu teges (jati), kayu camplung, dan kayu intaran gading (batang pohon pandan yang sudah tua) ada kentongan yang bahannya terbuat dari bambu. Untuk mendapatkan kentongan yang baik, maka dipilihlah kayu atau bahan yang baik pula, karena dengan bahan yang baik dapat memberikan kualitas suara yang baik pula. Kayu yang baik dipergunakan sebagai bahan kentongan adalah sebagai berikut : Kayu nangka, karena kayu ini disebut Kayu Prabu seperti disebutkan dalam naskah Janantaka (lembar 26b):


Kita taru nangka, wenang kita dadi ratuning taru kabeh, prabu nangka pangaranta, kita mamisesa ikang taru sahanannya. Kita taru jati, wenang kita mematuhi, patih jati pangaranata, wenang patih pangwesanta ring sahaning taru iki kabeh. Mwang kita comel pengaranta, amisesa ikang taru rencek………..


Artinya:
…kalau kayu nangka, patut kau menjadi rajanya semua, raja nangka namamu, kau yang menguasai segala kayu itu. Kau kayu jati, patut menjadi patih, patih jati namamu, patut sama kedudukanmu pada kayu nangka, menguasai kayu semua. Kau kayu sentul patut menjadi menteri comel namamu, patut menguasai bangsa kayu bawahan……


Dalam kutipan di atas dapat disebutkan bahwa kayu nangka adalah merupakan raja dari kayu semua, atau yang menguasai kayu semua kayu nangka tergolong ksatria. Kayu jati sebagai patihnya, tetapi dalam hal ini kedudukan kayu jati dan kayu nangka masing-masing memiliki kedudukan kayu jati dan kayu nangka masing-masing memiliki kedudukan yang sama, yakni menguasai semua jenis kayu. Sedangkan kayu sentul adalah sebagai mantri comel yang mempunyai tugas menguasai kayu jenis bawahan.


Kentongan adalah alat bunyian (alat komunikasi tradisional) yang merupakan alat yang kuno dan tersebar luas di kepulauan Indonesia, sehingga pada pemerintah Belanda kentongan ini lebih populer dengan nama “Tongtong” tetapi nampaknya kurang lazim di Jawa pada istilah tontongan tersebut sedangkan lebih lazim dipergunakan pada zaman Jawa-Hindu hanya dikhususkan untuk menyebutkan “Islit-drum”, tabuhan dengan lubang memanjang yang dibuat dari perunggu (Ensiklopedi Musik Indonesia, 1985 41).

Dalam syair Jawa Hindu Sudamala kentongan-kentongan itu juga disebut kulkul. Di samping itu juga kentongan yang kita kenal sekarang ada yang dibuat dari bambu yang khusus dipakai oleh organisasi-organisasi tertentu seperti misalnya Siskamling dan sekehe-sekehe yang bersifat sosial lainnya yang telah sepakat untuk mentaati dari suara (bunyi) kentongan yang telah ditentukan sebelumnya. Namun kentongan yang sifatnya permanen harus dibuat dari kayu, karena kayu itu mempunyai makna yang disebut dengan idep (pikiran). Maka kayu yang berarti idep (pikiran) ditemukan dari beberapa lontar seperti di bawah ini. Dalam lontar awig-awig Desa Sarwaada (Desa Taro yang kita kenal sekarang) terdapat kata-kata sebagai berikut:


“Semalih ring Gumi Sari jumeneng pengawa pemade I Gusti Ngurah Made Terta, mawadwa, 3 itu, rawuh kegunung Catur, pengidulnia taru pala. Gumi, nga, karang, sari, nga, merta : pala, nga bukti, taru, nga, idep. Ya ta maka sarining merta rat bhuana kabih “.

0 Responses to “Kulkul dan Masyarakat Bali”

Posting Komentar

Blogger news

All Rights Reserved Made Sumitre | Blogger Template by Bloggermint